CUKUPLAH MENJADI ANAK YANG BERBAKTI KEPADA ORANG TUA
Hujan masih cukup deras ketika sore itu aku duduk-duduk berdua dengan
ibuku. Kami berbincang-bincang panjang lebar. Tentang kuliahku,
pekerjaanku, kegiatanku, cita-cita dan rencana masa depanku. Ibu sangat
antusias mendengarkanku, kulihat pancaran raut bahagia dari wajahnya.
Awal Desember tahun lalu, sengaja kusempatkan pulang ke Jogja
ditengah-tengah kesibukanku dan seabrek tugas-tugasku. Aku sangat
merindukannya. Seminggu aku di rumah, namun belum cukup untuk mengobati
kerinduanku yang sangat dalam padanya.
Kemudian, kudengar untaian nasehat-nasehat dari ibuku. Begitu tulus dan
penuh pengharapan. InsyaAllah bu...mohon doanya selalu agar aku bisa
menjadi seperti yang ibu harapkan. Yaitu menjadi anak yang berbakti
kepada kedua orang tua.
Ah ibu...kau tidak mengharapkanku menjadi orang yang sukses dan kaya
raya. Kau tidak mencita-citakanku menjadi dokter, pengusaha, atau
profesi lainnya yang dapat menghasilkan banyak uang. Tidak seperti
kebanyakan orang tua jaman sekarang yang mengharapkan anak-anaknya
bahagia dengan bergelimangan harta.
Sejenak kami terdiam. Hanyut dalam pikiran masing-masing. Entah apa yang
sedang dipikirkan ibuku. Aku sendiri sedang memikirkan bagaimana kelak
aku akan membahagiakan orang tuaku. Kemudian, mulai ibu menceritakan
beberapa kisah kepadaku...
Kisah pertama, tentang
seorang nenek yang sudah sangat tua renta. Mungkin usianya sudah lebih
dari 80 tahun. Rumahnya tidak begitu jauh dari rumahku, kira-kira
berjarak 100 meter. Nenek tua itu sebenarnya memiliki beberapa orang
anak. Dua diantaranya tinggal di kampung sebelah. Semua anaknya sudah
berkeluarga dan juga sudah mempunyai anak. Tapi nenek tua itu hanya
tinggal sendirian di rumahnya. Sebuah rumah kecil yang sebenarnya lebih
pantas disebut gubuk. Tinggal sendiri, masak sendiri, dan mengerjakan
semua hal sendirian. Padahal nenek itu sudah sakit-sakitan. Ketika
gempa hebat meluluhlantakkan kotaku 7 tahun silam, nenek itu juga
menjadi korban dan menderita luka yang cukup serius. Tubuhnya menjadi
semakin lemah, ditambah lagi usianya yang semakin tua. Tapi begitu tega
anak-anak dan cucu-cucunya membiarkannya hidup dan tinggal sendirian di
rumahnya.
Suatu hari, ibuku melihat nenek tua itu sedang duduk dengan berselonjor
kaki di sebuah pos ronda di kampung kami. Rambut putihnya terurai
berantakan menutupi wajah dan kepalanya. Sambil membawa beberapa botol
bekas air mineral, nenek itu mulai berjalan. Bukan....bukan berjalan
dengan kedua kakinya. Tapi cara jalannya kini sudah ngesot karena tak
mampu lagi berdiri. Karena tak tega melihatnya, ibuku segera
mendatangi salah satu anaknya yang tinggal di kampung sebelah. Ibuku
memberi tahu keadaan ibunya saat itu. Segera anaknya menjemput nenek tua
itu, kemudian dibawa pulang kerumahnya, dibersihkan dan dimandikan. Tak
lama setelah kejadian itu, sang nenek meninggal dunia.
Ibuku pun berpikir, “Apakah ketika ibu tua nanti ibu akan mengalami nasib sama seperti nenek tua yang malang itu?”
Kukatakan padanya, “Ibu masih punya aku yang akan selalu menjaga ibu.
Yang selalu ingin melihat ibu bahagia. Tentu saja tak akan kubiarkan ibu
mengalami seperti apa yang dialami nenek tua itu.”
Kisah kedua, tentang seorang ibu yang sudah
cukup tua. Rumahnya tepat di belakang rumahku, hanya dibatasi sebuah
jalan kampung yang tidak terlau lebar dan kebun kelapa yang tidak begitu
luas. Kalau aku sedang berada di dapur dan kubuka pintu atau jendela,
langsung aku bisa melihat rumahnya. Kadang kulihat ibu itu sedang
duduk-duduk sendirian di depan rumahnya. Atau sedang berdiri
berjalan-jalan di sekitar rumahnya, atau entah apa yang sedang dia
lakukan.
Ibuku menceritakan keadaannya saat ini. .
Semua anak-anaknya sudah menikah dan tinggal dengan keluarganya
masing-masing di daerah yang cukup jauh dari kampung kami. Hanya tinggal
seorang anak laki-lakinya yang paling bungsu saja, yang walaupun sudah
menikah dan punya anak namun tetap tinggal di kampung kami. Rumahnya
tepat di samping rumah ibunya. Pada awalnya mereka tinggal serumah.
Tapi lama kelamaan, sang anak dan istrinya memutuskan untuk membagi
rumah yang mereka tinggali menjadi dua. Dan sejak itu, sang ibu tinggal
sendirian di salah satu bagian rumahnya. Semuanya kini menjadi
masing-masing. Sang anak dan istrinya pun mulai kurang memperhatikan
ibunya.
Karena sudah cukup tua dan tidak mempunyai penghasilan tetap karena
memang tidak bekerja, dan anakpun sudah mengurangi perhatian kepadanya,
ibu itu hanya mengandalkan sepetak sawah yang masih dimilikinya untuk
menyambung hidup. Sawah yang dimilikinya disewakan kepada orang lain
yang masih kuat untuk menggarapnya. Dan hasil panennya di bagi dua.
Lama-lama, anak dan menantunya seolah-olah sudah benar-benar lupa bahwa
orang tua yang tinggal di samping rumah mereka adalah ibu mereka. Sang
ibu punya uang atau tidak, ada makanan atau tidak, sepertinya sudah
bukan urusan mereka lagi.
Suatu hari, sang menantu mengadakan acara dengan keluarganya. Semua
keluarganya datang. Orang tua, paman, bibi dan saudara-saudaranya.
Beraneka macam makanan telah disiapkan. Tapi si ibu tua itu tidak
diundangnya.
“Sakit hati saya.” Kata ibu itu suatu ketika berbincang-bincang dengan ibuku.
“Dianggap apa saya ini?”
Tentu bukan karena tidak bisa ikut merasakan enaknya makanan yang dihidangkan di acara itu sang ibu bersedih.
Suatu ketika ibu itu sakit. Diare dan muntah-muntah hingga tubuhnya
lemas. Tak ada kelihatan anak atau menantunya membantunya mencuci
pakaian yang kotor karena sang ibu yang tak mampu menahan buang-buang
air dan merasa sangat lemah untuk berjalan ke kamar mandi. Ketika ibuku
menjenguknya, ibu itu meminta tolong kepada ibuku untuk membelikannya
beberapa stel pakaian karena pakaiannya sudah habis dipakai dan belum
mampu untuk mencuci karena masih merasa sangat lemah.
Setelah merasa lebih baik, ibu itu ingin makan daging ayam. Diberinya
anaknya uang 20 ribu dan memintanya tolong untuk membelikannya daging
ayam. Setelah berhari-hari, belum juga anaknya sempat untuk membelikan
apa yang diinginkan ibunya. Ketika ibu itu menanyakan pesanannya,
anaknya menjawab bahwa uang yang diberikan kepadanya dipakai untuk jajan
cucu-cucunya. Akhirya karena tak lagi mempunyai uang, ibu itupun
menahan keinginannya untuk makan ayam.
Menangis ibuku mendengarkan cerita ibu itu. Kembali beliau berkata,
““Apakah ketika ibu tua nanti ibu akan mengalami nasib sama seperti ibu
yang malang itu?”
“Jadilah anak yang berbakti kepada ibu dan ayahmu. Hanya itu yang ibu harapkan.”
InsyaAllah bu, aku akan berusaha menjadi anak yang berbakti kepada kalian berdua.
Allahummaghfirliy, waliwalidayya, warhamhuma kama robbayaniy shoghiro...Amin.
by :MEDI HERTION
by :MEDI HERTION